Rabu, 25 Maret 2009

teori arsitektur 02

pendekatan pada rumah susun




Saya kira rumah susun sudah sangat familiar di kota-kota besar.Namun perlu diketahui bahwa tidaklah cukup hanya menempatkan orang-orang didalam hunian tersebut.
kita sebagai arsitek kiranya perlu memperhatikan berbagai hal sehingga orang-orang yang kelak tinggal di rumah susun rancangan kita merasa nyaman.Hal ini tentunya dapat mendukung aktivitas meraka.
Salah satu hal yang wajib kita pertimbangkan adalah pendekatan sosialnya.
Orang Indonesia terkenal keramahtamahannya,serta gotong royong.Kita selalu berusaha untuk hidup berdampingan dengan orang disekitar.Sehingga akan sulit bila tidak ada hubungan social atau tanpa interaksi.Kita sangat jauh berbeda dengan orang eropa yang hidupnya lebih cendrung individual.
Sehingga saya kira dalam perancangan sebuah rumah susun di perlukan pendekatan social.Kita dapat membuat suatu tempat dimana orang dapat berkumpul,mungkin semacam ruang public yang dapat di pergunakan untuk saling bertemu satu sama lain ruang public itu dapat dimanfaatkan sebagai tempat jualan,sehingga ibu-ibu tidak terlalu kerepotan bila tidak dapat berbelanja ke pasar.pada malam hari nya mungkin di pasang tenda temporer untuk jualan makanan atau sekedar kucingan.selain itu untuk menjaga keamanan,kita dapat membuat pos jaga.seperti biasanya,setiap kepala keluarga akan berjaga bergiliran sesuai jadwal yang telah ditentukan.Ini tentu saja akan terasa seperti kehidupan normal yang biasnya dilakukan oleh masyarakat.
selain itu,tidak ada salahnya jika kita membuat lapangan tempat anak-anak bemain di setiap lantainya..mungkin ide itu agak berlebihan akan tetapi memungkinkan.karena dirancang juga sebagai tempat bermain anak maka,perlu perlindungan ketat dalam arti bahwa desain kita harus bersifat melindungi.
dapat kita ambil contoh rumah susun yang di rancang oleh salah satu dosen kita pak Setyo.Beliau mendesain rumah susun yang berbeda dengan rumah susun kebanyakan.rumah susun itu dibangun di daerah sekitar kali code.
Saya kira rumah susun itu dibuat berdasarkan pertimbangan pendekatan sosial dengan mengadakan obsevasi dan penelitian terlebih dahulu.tantu saja hasilnya maksimal dan masyarakat tidak merasa aneh menempati rumah susun tersebut.
Berikut saya sertakan beberapa foto yang kiranya dapat memberi inspirasi bagi yang mau merancang rumah susun.Rumah ini dirancang oleh bapak Setyo.



pendekatan pada rumah susun

Rabu, 25 Februari 2009

Selasa, 10 Februari 2009

masjid agung bandung

Saya mengambil contoh dari perubahan masjid agung bandung.terdapat perombakan kecil maupun besar-basaran alias total.setidaknya tercatat sudah 7 kali perombakan terjadi sejak dibangunya masjid itu yakni di abad ke-19 tiga kali perombakan dan di abad ke-20 empat kali perombakan.
Sedangkan Perombakan yang bersifat total terjadi 2 kali yakni pada tahun 1955 saat akan dilangsungkannya Konferensi Asia Afrika di Bandung dan pada tahun 1973 melalui SK Gubernur Kepala DATI I jabar.
Saat itu masjid masih berupa bangunan panggung tradisional sederhana yang.terbuat dari bamboo dan bertap rumbia.Namun pada sekitar bangunan masjid sederhana itu, ada yang menarik yakni terdapatnya kolam kolam besar nan luas sebagai
tempat mengambil air wudlu.


Gb 1. Masjid Agung Bandung untuk pertama kalinya terekam dalam sebuah litho pelukis Inggris W. Spreat yang dibuat pada tahun 1852. Tampak atap masjid ”bale nyungcung”.


Pada tahun 1826, bangunan masjid agung secara berangsur-angsur diganti dari bahan bilik dan bamboo menjadi bangunan berkonstruksi kayu.Bupati R.A. Wiranatakusumah IV (1846-1847) yang juga adalah seorang arsitek, merenovasi bangunan masjid agung dan pendopo kabupaten.Perombakan pada masjid agung berupa penggantian material atap dengan genting dan dinding dengan tembok batu bata.
Di sini terlihat bahwa masjid agung beratap tumpang tiga, memiliki halaman luas, dikelilingi pohon bambu dan kelapa serta di depannya terdapat gerbang yang diapit dua pohon beringin. Dari lukisan itu dapat juga kita lihat bahwa masjid agung merupakan bangunan tunggal, berskala besar/monumental dengan semacam pendopo di depannya. Secara umum, atap tumpang yang tinggi dan besar serta deretan kolom di sekeliling masjid memberi ciri penting. Khusus pada atap, di sini sudah memperlihatkan bentuk atap tumpang tiga yang tinggi seperti “Bale Nyungcung” yang makin terkenal di kemudian hari. Ekspresinya ditunjukkan dengan atap tinggi menjulang ke atas namun pada bagian ujung bawah setiap lapisan atap tumpukan berbelok ke arah mendatar/horizontal dengan cepat.


Bentuk dan ekspresi atap seperti itu, tampak makin terlihat pada tahun 1875 seperti yang ditunjukkan pada foto lama di tahun yang sama (lihat gb. 2).Selain lapisan atap tumpukan yang sudah `nyungcung`, pada bagian ujung bawah lapisan atap pertama juga makin jelas menunjukkan belokan atap ke arah lebih mendatar.

Gb. 2. Masjid Agung Bandung pada foto tahun 1875. Tampak jelas deretan kolom-kolom”doric”Yunani.(Sumber:KITLVLeiden)



Selain atap, di sini juga memperlihatkan adanya beberapa perubahan lainnya seperti: adanya semacam tembok/pagar yang mengelilingi pendopo/serambi luar masjid setinggi satu hingga satu setengah meter. Ini boleh jadi bukan sekadar tembok/pagar, tetapi juga berfungsi sebagai tempat duduk-duduk dari pondasi yang ditinggikan yang sekaligus mampu menahan kolom-kolom/tiang-tiang.

Memasuki pada abad ke-20, tepatnya pada tahun 1900 Masjid Agung Bandung mulai dikenal menjadi tempat ibadah. dilengkapi dengan ciri masjid tradisional yang sangat kental. Antara lain: denah empat persegi panjang, bedug dan kentongan, bangunan menghadap ke timur tepat, ada makam, benteng, dan tidak bermenara (Graaf, 1947).


Mendekati tahun 1930-an, masjid agung semakin terkenal dan sangat menonjol dalam fungsi, aktifitas, dan kegiatan-kegiatannya. Bisa dikatakan masjid agung pada saat itu mengalami `zaman keemasan` sebagai pusat ibadah dan sosial penduduk kota. Masjid dipakai untuk berakad nikah,tempat merayakan Mauludan, Rajaban, Shalat Ied dan belajar mengaji, serta menjadi baitul mal yang menerima zakat fitrah dan mengurus kesejahteraan umat.Sepasang menara kembar semakin memperkuat kesan simetri.


Gb. 3. Masjid Agung Bandung pada foto tahun 1935. Terjadi perubahan pada atap yang semakin menjulang dan adanya penambahan menara kembar didepan masjid...sumber;haryanto kunto..


Dari segi bentuk dan ekspresi bangunan, mungkin pada penampilan bangunan pada saat itulah yang memperlihatkan bentuk paling anggun dan menarik dibandingkan sebelumnya…pada masa ini pula bangunan masjid agung dan bahkan hampir seluruh bangunan sekeliling alun-alun diberi pagar tembok berlubang-lubang berornamen sisik ikan hasil rancangan arsitek Belanda terkenal Henry Maclaine Pont.

Perombakan total 1

Pada tahun 1955 ini, penampilan masjid jelas mengalami perubahan yang luar biasa dibanding dengan perubahan-perubahan kecil sebelumnya. Tampak depan juga dirubah total. Kedua menara kecil di kanan dan di kiri masjid dibongkar. Serambi diperluas ke depan yang menyebabkan halaman menjadi lebih sempit, bahkan hampir seperti tidak lagi memiliki halaman depan.Ruang panjang kiri dan kanan (pawestren) dijadikan satu bangunan induk, sehingga bangunan masjid menjadi sebuah massa tunggal. Bangunan baru ini dilengkapi menara berpuncak kubah bawang di sebelah selatan masjid. Perubahan yang paling spektakuler adalah bentuk atap bangunan induk yang sudah lebih dari seabad berbentuk `Bale Nyungcung` diganti dengan kubah segi empat bergaya Timur-tengah.(lihat gmbr.4)


Gb 4. Foto Masjid Agung Bandung pada tahun 1955, sesaat sebelum diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika. Di sini terjadi perubahan besar-besaran, dari atap bale nyungcung ke atap kubah. (Sumber: Haryoto Kunto)



Perubahan atap dari `bale Nyungcung` ke atap kubah segi empat seperti ini juga semakin memperkuat legitimasi penggunaan bentuk kubah bergaya Timur-tengah itu di pulau Jawa sebagai simbol sebuah masjid yang nantinya semakin kuat pada masa-masa mendatang. Karena pada sekitar tahun itu pula beberapa masjid di pulau Jawa dibangun juga dengan atap kubah seperti Masjid Syuhada (1952) di Yogyakarta dan Masjid Al-Azhar (1956) di kebayoran baru Jakarta.Masjid Agung Bandung dalam penampilan seperti itulah saat dilangsungkannya Konferensi Asia Afrika di Kota Bandung. Masjid digunakan sebagai tempat shalat para tamu-tamu dari luar negeri, sejak saat itu Masjid Agung bandung mulai dikenal oleh dunia Islam meskipun bentuknya sudah jauh meninggalkan aslinya yang beratap `Bale Nyungcung`


Perombakan total 2

Pada perkembangannya atap kubah hasil perombakan tahun 1955 tersebut pernah rusak karena tertiup angin dan diperbaiki pada tahun 1965. Kemudian diperbaiki kembali bersamaan dengan perbaikan beberapa bagian masjid serta penambahan ruangan untuk kegiatan pendidikan (madrasah dan TK) dan poliklinik pada tahun 1967/1968. Akhirnya kubah bawang yang sudah diperbaiki itu pun akhirnya diganti dan sekaligus diubah dengan yang bukan kubah bawang lagi pada tahun 1970-1973. Artinya Atap kubah bawang itu hanya bertahan selama kurang lebih 15 tahun.
Pada tahun 1973 ini dilakukan perombakan total kembali berdasarkan SK Gubernur Kepala DATI I Jabar tahun 1973. Bangunan yang baru memiliki wajah dan bentuk yang sama sekali berbeda dengan bentuk masa sebelumnya. Hasil renovasi ini diresmikan pada tahun 1974 (lihat gb. 5).


Gb 5. Masjid Agung Bandung pada penampilan di tahun 1974.

Masjid diperluas lantainya lagi, bahkan mulai dibangun bertingkat. Dibangun pula lantai basemen untuk tempat wudlu, sedangkan lantai dasar dipakai untuk ruang shalat utama dan kantor DKM. Sementara lantai di bagian atas difungsikan sebagai mezanin untuk tempat shalat yang berhubungan langsung dengan serambi luar. Serambi luar ini dihubungkan dengan jembatan beton ke arah alun-alun Bandung yang dapat kita lihat pada tampak muka masjid.Menara yang lama dibongkar diganti dengan yang baru yang lebih tinggi di halaman depan sebelah kiri. Menara yang baru ini diberi ornamen shading dari logam yang konon sedang tren pada saat itu. Perubahan drastis terjadi kembali pada atap yakni atap kubah langsung diganti dengan atap yang merujuk kembali atap tumpang tetapi berbeda tampilan dan ekspresinya, katanya model joglo, sebutan sebagian orang.

Bangunan yang ada sekarang ini sebagian besar adalah hasil perombakan total pada tahun 1973 tersebut.Pada akhir tahun 1980, penampilan masjid dirubah dengan selain diberikan finishing bahan dan detail-detail di dalam bangunan, juga ditambah fasade dinding pagar dan gerbang yang dilengkapi dengan pintu-pintu besi (gb. 6). Pagar dan gerbang ini cukup tinggi sehingga berkesan monumental. Elemen ini sangat tebal sehingga juga berkesan masif seperti benteng yang tak ingin ditembus kecuali melalui pintu-pintu yang juga berskala monumental.



Gb. 6. Masjid Agung Bandung pada foto tahun 2001.(Foto: Indra Yudha)


Penambahan yang tak kalah menarik adalah adanya rangka besi berbentuk kubah pada puncak menara masjid. Boleh jadi karena dianggap tidak mudah untuk mengenali bahwa bangunan tersebut adalah masjid bagi orang kebanyakan karena tertutup pagar dan gerbang, maka penambahan kubah pada puncak menara tersebut dianggap dapat memberi tanda/simbol yang mempermudah pengidentifikasian oleh masyarakat kebanyakan dari mana-mana. Lebih unik lagi, hampir setiap rangka besi kubah diberi rangkaian lampu-lampu, sehingga pada malam hari nyala terang lampu yang membentuk gubahan bentuk kubah itu dapat dengan mudah dikenali oleh khalayak umum sebagai bangunan masjid dengan baik.


Begitulah kira-kira informasi yang bisa saya peroleh mengenai perubahan suatu karya arsitektur.saya pikir perubahan yang terjadi pada masjid agung bandung adalah salah satu contoh karya arsitektur yang perombakannya besar-besaran.mungkin lebih tepatnya seperti metamorfosis kupu-kupu yang awalnya adalah seekor kepompong.